heroe

Jumat, 21 September 2012

Sholat Tahajjud, Sholat Tarawih dan Sholat Witir


Assalamu’alaikum WrWb.
Ikhwah fillah, di bulan Ramadhan, sering kali kita ditanya tentang tata cara shalat tarawih, jumlah rekaatnya, apakah boleh shalat lagi setelah witir, adakah tahajud di bulan Ramadhan, apakah tarawih khusus di bulan Ramadhan saja, … Berbagai pertanyaan tersebut insya Allah terjawab kalau Antum membaca buku “Tahajjud Berjama’ah, Bid’ahkah?” yang ditulis oleh KH. Saiful Islam Mubarak, Lc, MAg (Penerbit Syaamil, Juni 2005). Berikut ini hal-hal yang menurut saya penting untuk diketahui yang saya ringkas dari buku tersebut dengan sedikit perubahan seperlunya.

Asal Kata Tahajjud, Witir dan Tarawih
Disebutkan dalam Al-Quran:
Dan pada sebagian malam hari shalat tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu  mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Al-Isra (17):79).
Kata tahajjud berasal dari tahajjada-yatahajjadu-tahajjudan, bermakna tidak tidur. Shalat yang dilakukan di tengah malam akan menuntut hamba jauh dari tidur sehingga disebut shalat tahajjud.
Kata witir yang berarti ganjil disebutkan dalam Al-Quran dengan lafal “watr”:
Dan demi yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr (89):3).

Namun kata witir yang berhubungan dengan shalat sunnah hanya ditemukan dalam hadits, diantaranya:
Dari Ibnu ‘Umar ra dari Nabi saw beliau bersabda:
اجعلوا آخر صلاتكم بالليل وترا
Jadikanlah akhir shalatmu pada malam hari itu witir (ganjil). (HR. Bukhari Muslim).
Dengan kata witir ini kita diingatkan dengan hakikat tauhid, sebab Allah adalah witir (ganjil) dan menyukai witir (HR Tirmidzi). Ternyata bukan hanya shalat sunnah yang berjumlah ganjil, tetapi shalat fardhu pun secara keseluruhan berjumlah ganjil (17), dan waktu mengganjilkan shalat fardhu berlangsung ketika shalat maghrib. Sementara waktu mengganjilkan shalat sunnah berlangsung pada waktu malam, yaitu pada awal, pertengahan, atau akhir malam.
Adapun kata tarawih (تراويح) adalah bentuk jamak dari kata tarwihah (ترويحة) yang berarti merehatkan atau menyenangkan. Kata ini disebutkan dalam beberapa riwayat untuk menjelaskan bahwa Rasulullah saw mengambil posisi rileks dalam shalatnya karena beliau shalat lama sekali. Al-Baihaqi meriwayatkan dari ‘Aisyah ra beliau berkata:
كان رسول الله (ص) يصلي أربع ركعات في الليل ثم يتروح فأطال حتى رحمته ...
Rasulullah saw suka melakukan shalat empat rakaat pada malam hari kemudian beliau “yatarawwah” (mengambil posisi rileks) dan beliau memperpanjang shalatnya hingga aku kasihan padanya…
Imam Al-Baihaqi menyatakan bahwa salah satu perawinya adalah Al-Mughirah bin Ziyad dan ia tidak kuat riwayatnya, sehingga Al-Baihaqi berkata: “Dan sekiranya riwayat ini benar, maka ungkapan ‘yatarawwah’ adalah dasar adanya tarawih bagi imam dalam shalat tarawih.”
KH. Saiful Islam Mubarak, Lc, MAg menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan rehat tersebut bukan di luar shalat atau antara dua shalat, tetapi rehat yang dilakukan pada waktu shalat karena panjangnya. Sebagian kaum muslimin berpendapat sebaliknya.
Penggunaan istilah tarawih khusus untuk shalat di bulan Ramadhan tidak kita temui dalam Al-Quran atau Hadits Rasulullah saw, tetapi ia hanya istilah para ulama saja. Para ulama seluruh dunia telah menggunakan istilah ini dengan senang hati tanpa ada yang menentang karena perhatian mereka lebih pada substansi masalah dan bukan istilahnya. Di dalam hadits kita hanya menemukan ungkapan Qiyam Ramadhan seperti hadits:
من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: Siapa yang berdiri (untuk shalat) bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap balasan dari Allah niscaya diampuni dosanya yang telah lalu. (HR. Muslim: I/523 no 759).

Beberapa Hadits tentang Shalat Malam
1. Dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa dia bertanya kepada ‘Aisyah ra: Bagaimana keadaan shalat Rasulullah saw pada bulan Ramadhan? Aisyah berkata: Beliau tidak biasa melebihi - baik pada bulan Ramadhan atau bulan lainnya - dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat. Maka janganlah kamu bertanya tentang baik dan panjangnya! Lalu beliau shalat empat rakaat, maka janganlah kamu bertanya tentang baik dan panjangnya. Lalu beliau shalat tiga rakaat. Aku bertanya: Hai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum mengganjilkan? Beliau bersabda: Hai Aisyah sesungguhnya dua mataku tidur sementara qalbuku tidak tidur. (HR. Bukhari I/385 no 1096).
Hadits ini sering dijadikan dalil bahwa shalat tarawih harus sebelas rakaat dengan kaifiyat 4+4+3. Bagaimana dengan yang kurang atau lebih? Bolehkah?
Dari hadits di atas kita dapat menyimpulkan bahwa:
  • Abu Salamah menduga bahwa shalat malam pada bulan Ramadhan berbeda dengan di luar Ramadhan, lalu Aisyah menafikan adanya perbedaan itu.
  • Abu Salamah tidak bertanya tentang kammiyyah (jumlah rakaat), tetapi ia bertanya tentang kaifiyyah (cara/kualitas/bagaimana). Dan Aisyah menekankan jawabannya pada hal itu dengan mengatakan: “Jangan kau tanya tentang bagus dan lamanya shalat Rasulullah!” Artinya betapa baik dan lamanya shalat beliau saw.
  • Ungkapan ‘Aisyah ما كان يزيد  berarti ‘tidak biasa lebih’ beliau tidak mengatakanكان لا يزيد    yang berarti ‘tidak pernah lebih’ atau ‘tidak suka lebih’. Kesimpulan ini juga didukung oleh riwayat-riwayat berikut ini:
2. Ketika Rasulullah saw telah lanjut usia dan badannya bertambah gemuk, beliau melaksanakan shalat sebanyak tujuh rakaat dilanjutkan dengan dua rakaat sambil duduk dan salam, Semuanya berjumlah sembilan .. Dan bila tidak sempat qiyamullail karena tertidur atau sakit, maka beliau lakukan shalat pada siang hari dua belas rakaat. (HR. Bukhari: I/339 no 951, Muslim: I/512 no 745).
Dari riwayat ini kita dapat menyimpulkan:
  • Bahwa Rasulullah saw pernah shalat malam kurang dari sebelas rakaat.
  • Hal ini karena kondisi beliau yang sudah lanjut usia, bukan karena perbedaan pelaksanaan di bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan.
  • Beliau seakan melakukan qadha (ganti) shalat malam yang luput beliau lakukan dengan shalat sunnah di siang hari.
3. Dari Aisyah ra berkata: Adalah shalat Rasulullah saw di malam hari tiga belas rakaat. Beliau mengganjilkannya dengan lima rakaat tanpa duduk (tasyahud) selain pada rakaat terakhir (rakaat kelima). Bila muadzin telah mengumandangkan adzan maka beliau shalat dua rakaat yang ringan. (HR. Bukhari: I/151 no 377, Muslim: I/509 no 738).
Riwayat ini menunjukkan bahwa:
  • Rasulullah pernah shalat malam lebih dari sebelas rakaat.
  • Mengganjilkan shalat malam bisa dilakukan dengan lima rakaat tanpa duduk tasyahud kecuali sebelum salam. Dari riwayat sebelumnya (no 2) juga disimpulkan bahwa kita boleh menambah shalat setelah witir, asalkan dengan rakaat yang genap agar keseluruhannya tetap ganjil, karena beliau saw menutup shalat malamnya dengan dua rakaat setelah witir tujuh rakaat.
  • Beliau melakukan shalat sunnah fajar (subuh) dua rakaat ringan.
Variasi jumlah rakaat shalat malam baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan disamping berdasarkan contoh Rasulullah saw di atas, juga kita temukan pada praktek para ulama, diantaranya Imam Al-Bukhari sendiri yang meriwayatkan banyak hadits tentang masalah ini. Rekan Beliau, Imam Al-Baihaqi, menceritakan:
4. Bila tiba awal bulan Ramadhan, Muhammad bin Ismail Al-Bukhari suka didatangi oleh sahabat-sahabatnya dan ia melaksanakan shalat mengimami mereka dengan membaca dua puluh ayat Al-Quran setiap satu rakaat hingga menyelesaikan setengah Al-Quran atau sepertiganya. Maka beliau mengkhatamkan Al-Quran setiap tiga malam (dalam shalat). (Kitab Syu’abul Iman, Abu Bakar Al-Baihaqi: II/416).
Dari praktek Imam Bukhari ini kita dapat menyimpulkan bahwa:
  • Beliau sangat memperhatikan keadaan ma’mum sehingga beliau melaksanakan shalat dengan rakaat yang relatif pendek, agar ma’mum dapat menghentikan shalatnya setelah salam yang keberapapun ia kehendaki.
  • Al-Quran mengandung lebih dari 6000 ayat, sepertiganya berarti lebih dari 2000 ayat. Jika Imam Bukhari membaca 20 ayat setiap rakaat berarti beliau melakukan shalat malam bisa lebih dari 100 rakaat semalam.
5. Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah saw suka mewitirkan (mengganjilkan) dengan sembilan rakaat, kemudian beliau juga mengganjilkan dengan tujuh rakaat. Dan beliau shalat dua rakaat sambil duduk setelah witir membaca (Al-Quran) pada kedua rakaat itu. Ketika mendekati ruku’ beliau berdiri. (HR. Nasai: III/242 no 1722, Abu Dawud: II/43 no 1351).
Dari riwayat ini menunjukkan bahwa:
·         Bahwa jumlah rakaat shalat witir itu bervariasi dengan satu salam seperti yang telah dijelaskan.
·         Boleh melakukan shalat lagi setelah witir asalkan dengan bilangan yang genap.
·         Boleh duduk dalam shalat sunnah.
·         Rasulullah mengutamakan bacaan yang panjang sehingga dalam kondisi yang tidak memungkinkan berdiri lama, beliau duduk. Lalu beliau berdiri menjelang ruku’ sebelum selesai bacaan surat. Ini menunjukkan bahwa shalat malam dapat dilakukan sambil duduk dan berdiri pada rakaat yang sama.
·         Cara-cara di atas tidak dikhususkan untuk bulan tertentu, karena itu dapat dilakukan kapan saja termasuk bulan Ramadhan. Sebab hadits ini menggunakan kalimat umum “beliau biasa mewitirkan”. Dan telah diketahui bersama bahwa shalat malam harus dilakukan dengan witir (ganjil) baik pada bulan Ramadhan atau bulan lainnya.
6. Abdullah bin Umar ra meriwayatkan ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw: “ Ya Rasulullah, bagaimana cara shalat malam?” Beliau bersabda: “Dua-dua, jika kamu takut terkejar waktu shubuh maka ganjilkanlah dengan satu rakaat. (HR. Bukhari: I/180 no 460, Muslim: I/511 no 744).
Pelajaran dari hadits:
  • Semua shalat malam dapat dilaksanakan dengan dua rakaat-dua rakaat, termasuk di bulan Ramadhan, sebagaimana boleh dilakukan dengan empat-empat seperti pada riwayat no 1 di atas.
  • Boleh mewitirkan shalat dengan satu rakaat bila waktu tidak memungkinkan lagi.
7. Dari ‘Amir Asy-Sya’bi ia berkata: Aku bertanya kepada Abdullah bin Abbas ra dan Abdullah bin Umar ra tentng shalat malam Rasulullah saw. Keduanya menjawab: Shalat Rasulullah pada malam hari tiga belas rakaat, diantaranya delapan rakaat dan beliau mengganjilkannya dengan tiga rakaat. Dan beliau shalat dua rakaat setelah masuk fajar. (HR Muslim: I/508 no736).
Pelajaran dari hadits:
  • Witir dapat dilakukan dengan tiga rakaat, sebagaimana Rasulullah saw kadang melakukannya dengan tujuh, lima, atau satu rakaat seperti riwayat sebelumnya.
  • Betapapun shalat malam yang beliau lakukan memakan waktu sepertiga malam bahkan sampai dua pertiga malam, namun untuk rakaatnya rata-rata sebelas atau tiga belas. Hal ini disebabkan oleh panjangnya bacaan surat beliau saat berdiri, juga ruku dan sujud yang demikian lama. Bahwa hadits yang menjelaskan Rasulullah melaksanakan sebelas rakaat sekali lagi bukan memfokuskan pada pembatasan kuantitas, tetapi lebih untuk menjelaskan lama dan kualitas shalat beliau saw.
8. ‘Aisyah ra berkata: Nabi saw suka mewitirkan dengan (cara) delapan rakaat tanpa duduk kecuali pada rakaat ke-delapan, lalu berdiri lagi satu rakaat lainnya. Beliau tidak duduk kecuali pada rakaat ke-delapan dan ke-sembilan, dan tidak salam kecuali pada rakaat ke-sembilan. Kemudian beliau shalat lagi dua rakaat sambil duduk sehingga jumlahnya menjadi sebelas rakaat. (HR. Muslim: I/514 no 746).
Pelajaran dari hadits:  
  • Sebelas rakaat shalat malam tidak harus selalu dengan empat-empat, atau dua-dua. Tetapi boleh dengan sembilan-dua, dua kali salam.
  • Pada rakaat ke-delapan Rasulullah saw duduk lalu berdiri tanpa salam, pada rakaat ke-sembilan baru beliau salam. Ini menunjukkan bolehnya dua tasyahud (awal dan akhir) pada shalat malam dalam bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan.
9. Dari Ibnu Abbas ra berkata: Aku menginap di rumah bibiku, maka Rasulullah saw berdiri (untuk shalat) malam, maka akupun berdiri untuk shalat bersama beliau. Aku berdiri di sebelah kirinya, lalu beliau memegang kepalaku dan menempatkanku di sebelah kanannya. (HR. Muslim: I/248 no 304).
Pelajaran dari hadits:
  • Dibolehkannya qiyamullail berjamaah.
  • Posisi ma’mum pada shalat berjama’ah yang hanya terdiri dari imam dan seorang ma’mum adalah di sebelah kanan imam.
10. Dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata: Pada suatu malam aku melakukan shalat bersama Nabi saw. Maka beliau terus menerus berdiri hingga aku ingin berbuat buruk. Kami (orang-orang yang diceritakan oleh Ibnu Mas’ud) berkata: Apa yang Anda inginkan? Jawab Ibnu Mas’ud: Aku mau duduk saja dan membiarkan Rasulullah saw (berdiri). (HR. Bukhari: I/382 no 1084, Muslim: I/537 no 773).
Pelajaran dari hadits:
  • Dibolehkannya qiyamullail berjama’ah
  • Abdullah bin Mas’ud ra sangat ingin menikmati bacaan Rasulullah dalam shalat malam, namun karena kemampuannya tidak dapat menyamai Rasulullah saw ia merasa berat mengimbangi berdirinya Rasul. Namun keinginan untuk duduk beliau tahan meskipun diperbolehkan dalam shalat sunnah, karena menurutnya tidak pantas dilakukan terhadap Rasul.
  • Hadits ini tidak menerangkan kapan peristiwa ini berlangsung, bulan Ramadhan atau bukan. Para ulama pun tidak menyebutkan bahwa ini terjadi di bulan Ramadhan, menunjukkan bahwa shalat malam berjamaah boleh dilakukan di luar Ramadhan.
Demikian beberapa riwayat yang disebutkan oleh KH. Saiful Islam Mubarak, Lc, MAg –semoga Allah selalu menjaga beliau – dalam bukunya. Silakan Antum miliki dan baca buku tersebut untuk mengetahui lebih banyak lagi...
Wallahu a’lam bish-shawab


Oleh:
Ahmad Sahal Hasan

0 comments:

Posting Komentar