heroe

Sabtu, 17 November 2012

Hukum Sholat (Part 3-Finish)

PEMBAHASAN LAIN-LAIN TENTANG SHALAT
Pertama: SHALAT BERJAMA’AH

A.    Fadhilah dan Hikmahnya
عَن عبد الله بن عُمر رضي الله عنهما، أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «صلاةُ الجماعة أفضلُ من صَلاةِ الفَذِّ - أي الفَرد - بِسبعٍ وعِشرين دَرجة». متفق عليه
Dari Abdullah bin Umar ra, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: Shalat berjamaah itu leih utama dari shalat sendiri dengan dua puluh tujuh derajat. Muttafaq alaiah.

  1. Fardhu Ain menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Al Uza’iy, dan Zhahiriyah. Berdasarkan hadits imam muslim dari Abu Hurairah ra berkata:
: أتى النبيَّ صلى الله عليه وسلم رَجلٌ أعمى؛ قال: يا رَسول الله، لَيس لي قائِدٌ يَقودني إلى المسجد، وسأله أن يُرخِّص له، فَرخَّص له، فَلما وَلّى دَعاه فَقال: « هل تَسمَعُ النِّداء؟ » قال: نَعم، قال: «فَأجِب
Seorang lelaki buta menemui Rasulullah saw dan berkata: Ya Rasulallah saya tidak memiliki penuntun yang bisa menuntunku ke masjid” ia meminta keringanan kepada Rasulullah saw, lalu Rasulullah memberinya keringanan. Kemudian ketika orang itu kembali, Rasulullah memanggilnya dan bertanya: “Apakah kamu masih mendengar panggilan adzan?” ia menjawab: Ya. Sabda Nabi: Kalau begitu, maka penuhilah panggilan itu!.


Perintah untuk memenuhi panggilan itu adalah datang ke masjid shalat berjamaah. Juga terdapat hadits lain. Dari Abu Hurairah ra  bahwasannya Rasulullah saw bersbda:
«إنَّ أثقل الصلاة على المنافقين صَلاة العشاء وصَلاة الفَجر، ولو يَعلمون ما فيهما لأَتَوهُما حَبواً، ولَقد هَممت أن آمُر بالصَّلاة فَتُقَام، ثم آمر رَجلاً أن يصلي بالنّاس، ثم أنطلق مَعي برجال مَعهم حُزَم من حَطب إلى قَوم لا يَشْهدون الصَّلاة فأُحَرِّق عَليهم بُيوتَهم بالنّار». متَّفق عليه.

Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat isya’ dan shubuh. Jika seandainya mereka mengetahui isinya tentu mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. Dan sesungguhnya aku pernah merencanakan untuk memerintahkan shalat, lalu aku menyuruh seseorang mengimaminya, kemudian aku pergi bersama beberapa orang dengan membawa kayu bakar, mendatangi orang-orang yang tidak dataang shalat berjamaah kemudian aku bakar rumahnya. Hadits Muttafaq alaih.

  1. Fardhu kifayah menurut jumhurul ulama, yang terdiri dari para Ulama pendahulu madzhab Syafi’iy, mayoritas madzhab Hanafi fan Maliki. Merujuk kepada dalil-dalil di atas yang menjadi dalil ulama yang menyatakannya fardhu ain, dengan mengalihkan makna wajib ke wajib kifayah.
  2. Sunnah Muakkadah  menurut imam Abu Hanifah dan dua orang muridnya, Zaid bin Ali dan Al Muayyid Billah. Dan shah shalat tanpa berjamaah. Dan jika satu kota meninggalkannya tanpa udzur mereka diperintahkan untuk melaksanakannya jika mereka mau, jika menolak maka mereka diperangi. Karena berjamaah adalah salah satu syiar Islam, dan karakterstik agama ini. Dalil untuk menyatakan sunnah itu antara lain:
(صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة)
Shalat jamaah itu lebih utama dari pada shalat sendiri an dengan duapuluh tujuh derajat.

Jika shalat sendiri itu tidak sah, maka ia tidak akan memiliki keutamaan sedikitpun. Mereka menjawab hadits-hadist di atas sebagai hadits untuk mengancam, bukan dipraktekkan, seperti yang dilakukan Rasulullah saw. 

B.     Hukum-hukumnya
  1. Sunnahnya berjamaah adalah di masjid. Sehingga menampilkan syiar Islam dan jumlah umat yang banyak. Dan utamanya bagi wanita shalat di rumahnya, meskipun tidak dilarang ke masjid, menghadiri shalat berjamaah.
  2. Disunnahkan shalat berjamaah itu juga dalam shalat yang diqadha, minimal ada imam dan makmum
  3. Disunnahkan agar wanita terpisah dari laki-laki. Salah satunya menjadi imam (menurut madzhab Syafi’iy dan Hanbali. Makruh wanita menjadi imam bagi wanita menurut madzhab Hanafi. Tidak boleh wanita menjadi imam bagi wanita menurut imam Malik, dan wanita berdiri di tengah shaff.
  4. Syarat sahnya laki-laki menjadi imam adalah: Islam, baligh, berkal, mampu membaca Al Qur’an, dan bebas dari udzur. [1]
  5. Orang yang paling berhak menjadi selain tuan rumah atau pejabat adalah: orang yang paling berilmu, kemudian yang paling banyak hafalan, yang paling wara’ (hati-hati dari perbuatan dosa, kemudian yang paling tua usianya.
  6. Seorang makmum berdiri di sisi kanan imam, jika lebih dari satu maka berdiri di belakang imam. Dimulai dari shaf orang dewasa, kemudian shaf anak-anak, kemudian shaf wanita. Sedangkan jika anak kecil sudah ada di shaf depan maka tidak boleh ditarik ke belakang. [2]   
  7. Sebaiknya imam memperingan shalat, tidak melebihi standar sunnah dalam bacaan shalat.
  8. Tidak sah orang yang shalat fardhu makmum kepada orang yang shalat sunnah menurut madzhab  Hanafi dan Jumhurul Ulama. Tetapi sah menurut madzhab imam Syafi’iy. Jika ada seorang muslim shalat sunnah kemudian ada orang makmum di belakangnya untuk shalat fardhu dan tahu bahwa orang yang di depannya itu shalat sunnah, maka sah shalatnya menurut madzhab Syafi’iy dan tidak sah menurut madzhab Hanafiy.
  9. Tidak sah seorang shalat fardhu makmum di belakang orang yang shalat fardhu lainnya, jika makmum mengetahui hal itu. Demikian juga tidak sah orang yang makmum melaksanaan shalat fardhunya tepat waktu, dengan imam yang mengqadha shalat fardhu. Tetapi madzhab Syafi’iy memperbolehkan semua ini.
  10. Makmum wajib mengikuti imam, dan haram mendahuluinya, sedang bersamaan hukumnya makruh.
  11. Makmum diperbolehkan mufaraqah (memisahkan diri) dari imam, yaitu dengan keluar dari shalatnya imam dan menyempurnakan shalatnya sendiri jika ada udzur. Seperti yang dilakukan sahabat ketika Mu’adz yang menjadi imam membaca surah Al Baqarah dalam shalatnya.  (HR. Al Jamaah)
  12. Disunnahkan bagi orang yang telah shalat munfarid, untuk mengulangi shalatnya dengan berjamaah, dan shalat munfaridnya menjadi shalat sunnah
  13. Disunnahkan bagi imam, setelah shalat dan salam untuk menengok ke kanan dan kiri, kemudian berpindah dari tempat shalatnya
  14. Makmum diperbolehkan mengikuti imam meskipun di antara keduanya ada sekat, jika makmum mengetahui pergerakan imam lewat pendengaran atau penglihatan, dengan syarat shafnya bersambung. Sehingga tidak sah shalat dengan siaran radio atau televisi
  15. Jika seorang imam mengalami sesuatu yang tidak bisa meneruskan shalatnya maka digantikan orang lain untuk menyempurnakan shalatnya dengan makmum yang ada.
  16. Makruh seorang imam mengimami kaum yang tidak menyukainya.
  17. Tidak sah orang yang shalat sendirian di belakang shaf, seharusnya ia menarik salah satu dari jamaah yang ada di depannya untuk shalat bersamanya. Seperti dalam hadits Wabishah:
«أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى رَجلاً يصلي خلف الصف وَحده، فأمَره أن يُعِيد الصلاة»، رواه الخمسة إلّا النَّس
Bahwasannya Rasulullah saw melihat seseorang yang shalat sendirian di belakang shaf, lalu menyuruhnya untuk mengulang shalat. HR. Al Khamsah, kecuali An Nasa’iy.
Dan sah shalat wanita yang sendirian di belakang shaf pria. Dan tidak boleh baginya ia berdiri sejajar dengan pria dalam satu shaf.

  1. Menghadiri shalat berjamaah menjadi tidak wajib karena hujan, sangat dingin,  ketakutan, tertahan, sakit, atau lanjut usia, atau udzur-udzur lainnya yang disebutkan oleh para ulama untuk tidak memberatkan bagi kaum muslimin. Rasulullah saw pernah menyuruh muadzin untuk menyerukan: (صلوا في رحالكم)
Shalatlah di kendaraan kalian masing-masing; ketika malam sangat dingin, di malam saat turun hujan waktu musafir. HR As Syaikhani. 
Udzur-udzur yang lain diqiaskan dengan yang tersebut di atas.

  1. Ketika seorang yang masbuq (keduluan imam) di sebagian shalatnya, maka ia menyempurnakan sisa shalatnya itu setelah salam imam. Ia mengqadha awal shalatnya dalam hal bacaan, dan akhirnya dalam hal tasyahhud. Misalnya jika seseorang hanya mendapati rakaat terakhir imam dalam shalat maghrib maka ia mengqadha dua rakaat, dengan membaca Al Fatihah dan surah lainnya di setiap rakaat, karena ia mengqadha dua rakaat pertama dan kedua dilihat dari bacaan; dan duduk di rakaat pertama itu dengan bertasyahhud karena sesungguhnya itu rakaat kedua baginya, sehingga ia shalat maghrib dengan tiga kali duduk.
  2. Seseorang tidak disebut masbuq rakaat dengan imam, kecuali jika mendapati imamnya telah mengangkat kepala, bangun ruku’.

Kedua: SHALAT MUSAFIR

Allah swt berfirman:
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. QS. An Nisa: 101

قال يعَلى بن أُمية: قلت لعمر بن الخطاب: أرأيتَ إقصار الناس الصلاةَ وإنما قال عزّ وجلّ:
{ إنْ خِفتم أن يَفتِنَكم الذين كَفروا } فقد ذهب ذلك اليوم. قال عُمر: عجبتُ مما عجبتَ منه، فذكرتُ ذلك لِرسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: « صَدقة تصدَّق الله بِها عَليكم فاقبَلوا صَدَقته »، رواه الجماعة
Ya’la bin Umayyah berkata: akubertanya kepada Umar bin Khaththab: Bagaimana pendapatmu tentang mengqashar shalat, padahal Allah swt berfirman: 
Jika kamu takut diserang orang-orang kafir... . Dan sekarang hal itu tidak ada. Umar berkata: Aku heran dari apa yang kau herankan. Lalu aku sampaikan hal itu kepada Rasulullah saw yang bersabda: Itu adalah shadaqah Allah kepada kalian maka terimalah shadaqahnya. HR. Al Jamaah.

-          Menurut madzhab Hanafi, mengqashar shalat adalah ‘Azimah (hukum tetap), dan shalat sempurna hukumnya makruh berbeda dengan sunnah, tetapi tetap sah shalatnya; dan dua rakaat akhir dianggap sebagai shalat sunnah, dan tasyahhud awal menjadi wajib, jika ditinggalkan batal shalatnya.
-          Menurut madzhab Syafi’iy; qashar shalat adalah rukhshah (kemudahan), tetapi tidak dimakruhkan shalat sempurna yang berstatus Azimah, dan itu yang utama, jika safarnya belum sampai tiga marhalah, dan jika sudah melewatinya maka yang utama mengqashar shalat.
-          Para ulama berbeda pendapat tentang jarak safar yang diperbolehkan qashar shalat. Menurut madzhab Maliki, Syafi;iy, dan Hanbali sejauh kurang lebih 90 km (sembilan puluh kilo meter).[3]
-          Para ulama juga berbeda pendapat tentang lama safar. Empat hari menurut jumhurul ulama,[4] lima belas hari menurut madzhab Hanafiy, jika niat mukim melebihi batas itu dihitung mukim, dan tidak boleh mengkoshor shalat. Sedang jika ia tidak tahu berapa lama ia mukim, dan setiap hari menyatakan : BESOK MAU JALAN kemudian ia terpaksa harus menetap, maka dihitung musafir, mengqoshor shalat meskipun lama di situ. Demikianlah madzhab Hanafi dan salah satu pendapat madzhab Syafi’iy, yang merupakan amalah mayoritas sahabat.  Pendapat lain madzhab Syafi’iy jika lebih dari delapan belas hari dianggap muqim, dan tidak mengqashar apapun keadaannya.
-          Syarat untuk mengambil rukhshah qashar shalat agar keluar dari tempat tinggalnya, dan terus mengqashar sampai ia pulang ke negerinya.
-          Mengqashar shalat empat rakaat menjadi dua rakaat. Orang mukim boleh makmum kepada musafir, ketika musafir telah salam, yang mukim meneruskan, sebagaimana msafir yang shalat empat rakaat makmum kepada orang mukim. 
-          Diperbolehkan shalat sunnah di atas kendaraan, kapal, mobil, kereta, atau pesawat. Dan bagi yang mau shalat harus menghadap kiblat jika mampu. Dan gugur darinya beberapa rukun shalat dan kewajibannya yang tidak mungkin dilaksanakan, seperti cukup dengan isyarat membungkuk dengan kepala untuk ruku’ dan sujud. Menundukkan kepala ketika sujud lebih rendah daripada ruku’nya. Hal ini telah disepakati oleh para ulama fiqh, berdasar hadits Amir bin Rabi’ah ra berkata:
(رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على راحلته يسبِّحُ يومئُ برأسِهِ قِبَلَ أي وجهةٍ توجه، ولم يكن يصنع ذلك في الصلاة المكتوبة)، متفق عليه.




[1] Seperti mengalami penyakit beser kencing.
[2] Menurut madzhab Maliki makmum dianggap sah shalatnya meskipun di depan imam
[3] Jarak safar menurut madzhab Maliki, Syafi’iy dan Hanbali adalah empat pos, dan satu pos = empat farsah, satu farsah=tiga mil, maka kira-kira 90 km. seperti yang dibuktikan oleh Sayyid Ahmad Al Husaini dalam bukunya “ Zadul Musafir/Bekal orang bepergian”
Sedangkan menurut madzhab Hanafi; jarak safar itu diukur dengan waktu, yaitu tig ahari,
Dalil madzhab Maliki, Syafi’iy dan Hanbali, adalah riwayat Imam Malik, bahwa Abdullah bin Abbas mengqashar shalat dalam perjalanan antara Makkah dan Thaif, jarak ini seperti Makkah dan Asfan, Makkah dan Jeddah. Imam Malik berkata: itu kira-kira empat pos.
Demikian juga seperti yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari: Bahwa Abdullah bin Umar ra dan Abdullah ibn Abbas keduanya mengqashar shalat dan ifthar dalam jarak empat pos.
Sedangkan dalil madzhab Hanafiy adalah riwayat Al Bukhari:
Tidak halal bagi wanita beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar sejauh tiga hari kecuali bersama dengan mahram, dan yang kurang dari tiga hari tidak dianggap safar.
Seperti dalam hadits Ya’la bin Murah: Bahwasannya Rasulullah saw bersama dengan para sahabat sampai ke Mudhayyaq, masih di atas kendaraannya, dalam keadaan hujan, tanah becek, datang waktu shalat, lalu menyuruh muadzdzin mengumandangkan adzan dan iqamat, kemudian Rasulullah maju ke depan dengan tetap menaiki kendaraannya, di depan para sahabat, lalu shalat bersama mereka –menjadi imam- dengan isyarat membungkuk sujud lebih rendah daripada ruku’. HR Ahmad, At Tirmidzi, An Nasa’iy, dan Ad Daru Quthniy.  
[4] Menurut madzhab Syafi’iy jika ia berniat mukim lebih dari tiga hari, ia menjadi orang mukim. Dan kurang dari empat hari dihitung musafir. Hari bearngkat dan pulang tidak dihitung.

0 comments:

Posting Komentar